Indonesia pernah mengalami masa pemerintahan otoritarianisme selama lebih dari 30 tahun di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, yang berkuasa dari 1967 hingga 1998. Pemerintahan Soeharto dikenal dengan sebutan Orde Baru, yang berfokus pada pengendalian sosial, politik, dan ekonomi yang ketat.
Pemerintahan Orde Baru ini ditandai dengan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat. Ada banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa itu, seperti hilangnya orang-orang tanpa jejak, penangkapan dan penyiksaan terhadap aktivis politik, dan tindakan represif terhadap kelompok etnis Tionghoa.
Selama masa pemerintahan Soeharto, Partai Golongan Karya (Golkar) adalah satu-satunya partai politik yang diakui secara resmi, sementara partai politik lainnya dilarang dan dianggap sebagai organisasi yang mengancam keamanan negara. Selain itu, media massa diperintah oleh pemerintah, sehingga tidak ada kebebasan pers yang sebenarnya.
Setelah Soeharto lengser pada tahun 1998, Indonesia mengalami transformasi menuju demokrasi, dengan adanya pemilihan umum yang bebas dan adil serta kebebasan berpendapat yang lebih luas. Meskipun demikian, Indonesia masih dihadapkan pada beberapa tantangan dalam mewujudkan demokrasi yang sejati, seperti korupsi, intoleransi, dan diskriminasi.
Meraih Kekuasaan Setelah Revolusi
Setelah terjadi revolusi dan kekacauan pada masa awal Orde Baru, Soeharto melakukan berbagai tindakan untuk mempertahankan kekuasaannya selama 30 tahun di Indonesia. Beberapa tindakan yang dilakukannya antara lain:
- Membentuk Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) untuk mengendalikan keamanan negara dan melakukan pengawasan terhadap partai politik, kelompok masyarakat, dan media massa.
- Melakukan pembatasan kebebasan pers, sehingga media massa hanya dapat menyiarkan informasi yang disetujui oleh pemerintah.
- Membubarkan partai politik yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah dan memenjarakan para aktivisnya.
- Menempatkan kelompok tentara dan kelompok keluarga militer pada posisi kunci di dalam pemerintahan dan bisnis nasional.
- Melakukan pembatasan terhadap hak-hak sipil dan kebebasan berbicara, berkumpul, dan berserikat.
- Menekan kelompok-kelompok yang dianggap memiliki potensi untuk mengancam keamanan dan stabilitas nasional.
Tindakan-tindakan tersebut membantu Soeharto mempertahankan kekuasaannya selama tiga dekade, tetapi juga menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan pembatasan kebebasan politik di Indonesia.
Apa Yang Dilakukan Soeharto
Suharto dianggap sebagai pemimpin otoriter karena ia memegang kekuasaan penuh selama hampir 32 tahun dan melakukan banyak tindakan otoriter selama masa pemerintahannya. Beberapa tindakan otoriter yang dilakukan Suharto antara lain:
- Penghapusan hak-hak demokrasi: Suharto melakukan pembatasan kebebasan pers, menangkap dan menyiksa aktivis politik, serta menghentikan partai politik dan organisasi masyarakat sipil yang dianggap mengancam kekuasaannya.
- Penggunaan aparat keamanan: Suharto menggunakan aparat keamanan seperti militer dan polisi untuk mempertahankan kekuasaannya. Aparat keamanan tersebut sering kali menggunakan kekerasan dan penyiksaan terhadap warga yang dianggap mengancam pemerintah.
- Korupsi: Selama pemerintahannya, Suharto membangun sebuah sistem korupsi yang luas dan terorganisir dengan baik. Keluarga dan teman dekatnya menjadi kaya raya, sedangkan rakyat Indonesia menderita akibat kemiskinan dan pengangguran.
- Pelanggaran HAM: Suharto juga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia seperti penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan penghilangan orang secara paksa.
- Kepentingan pribadi: Suharto sering kali mengutamakan kepentingan pribadinya dan keluarganya daripada kepentingan rakyat dan negara. Ia sering kali melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan menunjukkan perilaku otoriter yang membahayakan demokrasi.
Pada masa Orde Baru terdapat pemilihan umum seperti pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemilihan presiden, namun pemilihan tersebut dianggap tidak bebas dan adil. Selama masa Orde Baru, pemerintah Suharto juga melakukan pelanggaran hak asasi manusia, pembatasan kebebasan pers, dan penekanan terhadap kritik terhadap pemerintah, yang semuanya merusak prinsip-prinsip demokrasi. Kekuasaan dan pengaruh yang besar dari pemerintah pada waktu itu juga memungkinkan manipulasi dan pelanggaran pada proses pemilihan. Sebagai hasilnya, pemilihan pada masa Orde Baru tidak mencerminkan suara rakyat yang sebenarnya dan dianggap sebagai bentuk dari otoritarianisme.
Meskipun pemilihan umum dilakukan di Indonesia pada masa Orde Baru, namun banyak pihak yang menilai bahwa pemilihan tersebut tidak sepenuhnya bebas dan adil. Ada beberapa alasan yang menyebabkan hal tersebut:
- Pembatasan kebebasan berpendapat dan berkumpul: Pada masa Orde Baru, terjadi pembatasan kebebasan berpendapat dan berkumpul. Media massa dan kegiatan yang dianggap merugikan kepentingan pemerintah sering kali ditindak tegas, sehingga opini masyarakat tidak terlalu terwakili dalam pemilihan.
- Intimidasi dan kekerasan: Terdapat laporan tentang intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap pendukung partai oposisi. Hal ini berdampak pada pengurangan partisipasi masyarakat dalam pemilihan.
- Manipulasi suara: Dalam beberapa pemilihan, terdapat laporan tentang manipulasi suara yang dilakukan untuk memenangkan kandidat yang diinginkan oleh pemerintah. Contohnya adalah pemilihan umum tahun 1971, di mana terjadi tuduhan pemalsuan surat suara.
- Dominasi partai oposisi: Partai oposisi selalu didiskreditkan oleh pemerintah dan terbatas dalam kegiatan kampanye mereka. Ini membuat partai oposisi sulit untuk berkembang dan bersaing secara adil dalam pemilihan.
Akumulasi dari semua faktor tersebut menghasilkan pemilihan yang dianggap kurang bebas dan adil. Pemilihan cenderung tidak mengekspresikan kehendak rakyat dengan sebenarnya.
Pemberangusan Aktivis
Pada masa Orde Baru, terjadi pemberangusan terhadap aktivis dan kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan pemerintah. Pemerintah Suharto menindak tegas setiap kritik terhadap pemerintah dan mengambil tindakan keras terhadap kelompok-kelompok yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah, termasuk dengan cara melakukan penangkapan dan penyiksaan terhadap aktivis dan politikus oposisi. Beberapa kasus pelanggaran HAM dan penghilangan paksa juga terjadi pada masa itu. Oleh karena itu, masa Orde Baru dianggap sebagai masa otoritarianisme yang sangat keras di Indonesia.
Pada masa Orde Baru, kritik yang tidak sejalan dengan pemerintah atau kebijakan yang diambil dapat dianggap sebagai tindakan subversif dan dapat ditindak tegas oleh pemerintah. Beberapa contoh kritik yang tidak sejalan pada masa itu antara lain kritik terhadap kebijakan ekonomi yang dianggap merugikan rakyat, kritik terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat, kritik terhadap penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan, dan kritik terhadap korupsi dan nepotisme di kalangan pejabat pemerintah. Namun, kritik-kritik tersebut seringkali diabaikan atau ditekan oleh pemerintah yang tidak ingin terganggu dalam menjalankan kebijakan atau mempertahankan kekuasaannya.
Selama masa pemerintahan Suharto, banyak aktivis dan anggota masyarakat sipil yang diberangus atau ditahan secara sewenang-wenang. Beberapa contoh aktivis yang diberangus di antaranya adalah:
- Munir Said Thalib: Munir adalah seorang aktivis hak asasi manusia yang dikenal karena kerjanya dalam memerangi pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
- Marsinah: Marsinah adalah seorang pekerja pabrik sepatu yang aktif dalam gerakan buruh. Pada 8 Mei 1993, ia ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan, dengan banyak tulang patah dan luka di sekujur tubuhnya. Pihak berwenang menuduh bahwa Marsinah tewas karena “hubungan pribadi yang tidak benar” atau “hubungan asmara yang terlarang,” namun banyak orang meyakini bahwa ia dibunuh karena aktivitasnya dalam gerakan buruh.
- Pramoedya Ananta Toer: Pramoedya adalah seorang penulis terkenal yang menulis banyak karya tentang sejarah Indonesia. Ia ditahan oleh pemerintah Suharto selama lebih dari sembilan tahun, dan selama penahanannya ia diperlakukan dengan sangat buruk. Meskipun demikian, karyanya tetap memengaruhi banyak orang dan membantu membangkitkan kesadaran nasionalisme di Indonesia.
Alasan di balik penahanan dan penganiayaan para aktivis tersebut biasanya terkait dengan pandangan politik mereka yang berbeda dengan pemerintah, atau karena mereka memperjuangkan isu-isu yang dianggap sensitif oleh pemerintah. Mereka dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas politik yang dijaga oleh pemerintah Suharto.
Sisi Positif
Pada masa Orde Baru, Indonesia mengalami perkembangan ekonomi yang pesat, di mana produk domestik bruto (PDB) meningkat dengan cepat selama beberapa tahun berturut-turut. Dalam bidang pertanian, Indonesia mencapai swasembada pangan, di mana produksi beras dan hasil pertanian lainnya meningkat secara signifikan. Pemerintah juga melakukan reformasi agraria untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Selain itu, pada masa Orde Baru, pemerintah berhasil menstabilkan keamanan dan ketertiban nasional, serta memerangi gerakan separatis yang ada di beberapa wilayah Indonesia. Program transmigrasi juga diterapkan untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk di pulau Jawa dan Bali, dengan memindahkan penduduk ke daerah-daerah lain di Indonesia.
Pada bidang pendidikan, pemerintah berhasil memperluas akses pendidikan ke seluruh pelosok negeri, termasuk untuk masyarakat di daerah terpencil dan terisolasi. Program wajib belajar 9 tahun juga diterapkan untuk meningkatkan tingkat melek huruf di Indonesia.
Namun, di sisi lain, banyak pihak menyoroti sisi negatif dari masa Orde Baru, seperti pelanggaran hak asasi manusia, kebebasan berekspresi yang dibatasi, korupsi yang merajalela, serta kebijakan-kebijakan yang mengabaikan kepentingan rakyat.
Pada masa Orde Baru, anggapan negara lain terhadap otoritarianisme di Indonesia beragam. Ada beberapa negara yang menilai bahwa Orde Baru di Indonesia berhasil mencapai kemajuan ekonomi dan sosial, dan memberikan stabilitas politik dalam negeri. Namun, ada juga negara dan organisasi internasional yang mengecam pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan politik yang terjadi pada masa tersebut.
Misalnya, pada tahun 1991, Amerika Serikat memberlakukan larangan penjualan senjata dan bantuan ekonomi terhadap Indonesia sebagai bentuk protes atas pelanggaran hak asasi manusia di Tanjung Priok pada tahun 1984. Di sisi lain, negara seperti Singapura dan Malaysia memberikan dukungan terhadap Orde Baru dan menganggapnya sebagai model bagi negara-negara di kawasan tersebut.
Leave a Reply